Kamis, 11 November 2010

Demokrasi dan sistem pemerintahan Indonesia

Orde Lama (1945–1966)
A. Demokrasi Liberal  (1945-1959)
17 Agustus 1945 (setelah kemerdekaan Indonesia), Ir. Soekarno yang menjadi Ketua PPKI dipercaya menjadi Presiden Republik Indonesia.
29 Agustus 1945, Ir. Soekarno dilantik oleh Kasman Singodimedjo. Bersamaan dengan itu, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Badan ini bertujuan untuk membantu tugas Presiden Hasilnya antara lain:
1). Terbentuknya 12 Departemen kenegaraan dalam pemerintahan yang baru.
2).  Pembagian wilayah pemerintahan RI menjadi 8 Provinsi yang masing-masing terdiri dari beberapa karesidenan. Namun, kebebasan dan kemerdekaan berdemokrasi di dalam KNIP justru mengusung pemerintah RI kepada system parlementer untuk menghindari kekuasaan Presiden yang terpusat.
7 Oktober 1945 lahir memorandm yang ditandatangani oleh 50 orang dari 150 orang anggota KNIP. Isinya antara lain:
1. Mendesak Presiden untuk segera membentuk MPR.
2. Meminta kepada Presiden agar anggota-anggota KNIP turut berwenang melakukan fungsi dan tugas MPR, sebelum badan tersebut terbentuk.
16 Oktober 1945 keluar Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 yang isinya:
“Bahwa komite nasional pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan GBHN, serta menyetujui bahwa pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab pada komite nasional pusat.”
3 November 1945, keluar maklumat untuk kebebasan membentuk banyak pertai atau multi partai sebagai persiapan pemilu yang akan diselenggarakan bulan Juni 1946.
14 November 1945 terbentuk susunan kabinet berdasarkan system parlementer (Demokrasi Liberal).
Sejak berlakunya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950 dengan system demikrasi liberal selama 9 tahun tidak menunjukkan adanya hasil yang sesuai harapan rakyat.
Bahkan, muncul disintegrasi bangsa. Antara lain:
1. Pemberontakan PRRI, Permesta, atau DI/TII yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
2. Konstiuante tidak berhasil menetapkan UUD sehingga Negara benar-benar dalam keadaan darurat.
Untuk mengatasi Hal tersebut Dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hal ini menandakan bahwa system demokrasi liberal tidak berhasil dilaksanakan di Indonesia, karena tidak sesuai dengan pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia.
b. Demokrasi terpimpin (1959-1966)
Dengan dikeluarkannya dekrit presiden 5 juli 1959, maka demokrasi liberal diganti dengan demokrasi  terpimpin. Situasi politik pada masa demokrasi terpimpin diwarnai tiga kekuatan politik utama yaitu Soekarno, PKI, dan angkatan darat.
Ketiga kekuatan tersebut saling merakngkul satu sama lain. Teruta,a PKI membutuhkan Soekarno untuk menghadapi angkatan darat yang menyainginya dan meminta perlindungan. Begitu juga angkatan darat, membutuhkan Soekarno untuk legitimasi untuk keterlibatannya di dunia politik.
Dalam demokrasi terpimpin, apabila tidak terjadi mufakat dalam siding legislatife, maka permasalahan itu diserahkan kepada presiden sebagai pemimpin besar revolusi untuk dapat diputuskan dalam hal anggota DPR tidak mencapai  mufakat (sesuai Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden).
Jadi, rakyat maupun wakil rakyat tidak memiliki peranan penting dalam Demokrasi Terpimpin. Akhirnya, pemerintah orde lama beserta demokrasi terpimpinnya jatuh setelah terjadi  peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 cukup diikuti krisis ekonomi yang cukup parah hinga dikeluarkannya supersemar (surat perintah sebelas maret).
c. Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasil adalah demokrasi yang dijiwai oleh sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan yang berkeadilah social bagi seluruh rakyat Indonesia.
A. KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE LAMA
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.  Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
(1). Gerakan separatis pada tahun 1957;
(2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.


1. Partai Politik dalam Era Orde Lama
            Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai  dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
            Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.[16]  Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
            Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar